Motivasi untuk Berkuasa
http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=5944
David McClelland (1917 - 1998), psikolog terkenal, pada akhir 1961 pernah menulis: “…motivation and performance vary according to the strength of an individual’s need for achievement”.
Menurutnya, ada tiga keinginan seseorang untuk mendapatkan motivasi. Pertama, the need for achievement, yaitu keinginan untuk mencapai sesuatu yang sulit dicapai; Kedua, the need for affiliation, yaitu keinginan untuk menggunakan waktu bagi kepentingan dan aktivitas sosial; Ketiga, the need for power, yaitu keinginan untuk mempengaruhi, melatih, mengajari, dan mendorong yang lain untuk mencapai suatu tujuan.
Dalam kisah pewayangan Mahabharata, Pendeta Dorna merupakan tokoh antagonis yang haus kekuasaan. Dia digambarkan selalu ada dalam setiap waktu terjadinya sengketa dan perselisihan antara para Pandawa dan Kurawa. Dia adalah tokoh kunci yang selalu bermain di air keruh dan mengompori para Kurawa untuk menghalalkan segala cara guna mengalahkan Pandawa Lima.
Dalam kisah Mahabharata, tersebutlah sebuah kerajaan bernama Hastinapura, yang dikuasai dan diperoleh oleh para Kurawa berkat tipu-muslihat dan keberuntungan dari permainan sebuah dadu. Ajang permainan dadu tersebut menjadi malapetaka bagi Pandawa Lima, sehingga mereka terpaksa terusir dari kerajaan dan hidup di tengah hutan. Kekuasaan merupakan suatu aroma yang lezat serta menjadi semacam obsesi bagi para Kurawa untuk memperolehnya dengan segala cara.
Namun, tidak demikian halnya bagi sejarah Hastinapura. Dari awal, kerajaan yang didirikan Prabu Sentanu itu melahirkan banyak negarawan hebat, baik pada saat masih menjadi kesatria maupun setelah mandek pandhita alias menjadi brahmana. Salah satunya, seorang tokoh besar yang dikenal sebagai Bisma. Para dewa di kayangan memberikan gelar Bisma Dewa Bharata kepada putra mahkota Bisma.
Tidak seperti teori McClelland di atas, kekuasaan bukanlah tujuan sang Bisma. Sebagai seorang putra mahkota, kesempatan untuk menjadi raja Hastinapura sudah pernah di depan mata. Kesempatan ini ditampik, karena Bisma punya cita-cita mulia, yaitu ingin agar ayahnya berbahagia. Untuk itu, dia merelakan mahkota kerajaan diperuntukkan bagi sang adik tirinya. Bahkan, Bisma bersumpah untuk tidak menikah.
Bisma tetap seorang negarawan. Walaupun berada di pihak yang salah, namun tetap berjuang untuk kerajaan Hastinapura sampai akhir hayatnya. Saat terjadi perang bharatayudha di padang kurusetra, Bisma tidak terkalahkan oleh siapa pun. Bisma sangat dihormati serta ditakuti. Sampai pada suatu saat, rupanya sang negarawan terkena karma akibat “supata” (sumpah kutukan) pada masa lalu. Saat itu dikisahkan Bisma muda pernah menolak cinta dari seorang putri yang sangat cantik dan berkeinginan menjadi permaisurinya. Karena telah bersumpah untuk tidak menikah, Bisma menampik cinta kasih sang putri. Sang putri yang bernama Dewi Amba tersebut akhirnya tewas, karena tertusuk anak panah Bisma. Sebelum ajal menjemput, Dewi Amba bersumpah kalau arwahnya akan menitis kembali kepada salah seorang prajurit wanita yang kelak akan “menjemput” Bisma pada saat pecah perang bharatayudha.
Memohon Izin
Sumpah kutukan tersebut terbukti kelak pada saat tidak seorang pun panglima perang dari pihak Pandawa yang mampu mengalahkannya. Munculah seorang prajurit wanita yang masih belajar memanah menghampiri sang Bisma. Sang prajurit itu memohon izin untuk memanah sang eyang guru Bisma. Tanpa diduga, sang Bisma merestui dan berkata kepada Srikandi, nama prajurit wanita tersebut. Lalu tak lama kemudian melesatlah anah panah dari busur Srikandi dan menembus jantung Bisma. Akhirnya, Bisma Dewa Bharata mangkat. Padang kurusetra menangis, seluruh panglima perang dan prajurit Hastinapura berduka.
Bisma bukan politikus seperti halnya Pendeta Dorna. Andai saja Bisma menjadi politikus, bisa saja dia akan memihak kepada kubu Pandawa, pihak di mana ada Kresna titisan sang Bhatara Indra. Bisa saja dia memihak Pandawa, karena kelak akan menjadi pemenang perang bharatayudha. Namun, Bisma tetaplah seorang negarawan yang membela kepentingan kerajaan Hastinapura.
Negeri yang menjadi tempatnya selama ini mengabdi, dari sebagai putra mahkota, calon raja, sampai akhirnya sebagai brahmana yang mandeg pandhita tanpa melalui lengser keprabon. Seumur hidupnya dia tidak pernah menjadi seorang raja, walaupun mempunyai hak sebagai sang putra mahkota.
Melihat kisah sang Bisma, akankah teori McClelland lebih tepat kalau diterapkan bagi seorang politikus dan bukan untuk seorang negarawan seperti Bisma?
Oleh Totok Sugiharto
Penulis adalah Dosen Perilaku Keorganisasian, Program Pascasarjana UPH